Bismillah.
Diantara nama Allah Yang Mahaindah adalah asy-Syakur; Yang Mahaberterima kasih. Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengungkapkan, Allah adalah asy-Syakur; yang Dia akan mensyukuri amal walaupun sedikit dan Allah akan menambahkan keutamaan/karunia kepada orang-orang yang bersyukur (lihat al-Qaul as-Sadiid fi Maqashid at-Tauhiid, hal. 11)
Diantara ayat yang menyebutkan nama asy-Syakur yaitu firman Allah (yang artinya), “Dan mereka mengatakan : Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sesungguhnya Rabb kami benar-benar Mahapengampun lagi Mahaberterima kasih.” (Fathir : 34)
Nama Allah asy-Syakir atau asy-Syakur menunjukkan bahwa tidak ada satu pun amalan yang tersia-siakan di sisi Allah. Bahkan amalan-amalan itu akan dilipatgandakan pahalanya berlipat-lipat. Allah berkenan untuk menerima amalan walaupun itu ringan atau kecil/terlihat sepele. Dan Allah pun memberikan balasan atasnya dengan balasan yang melimpah ruah (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 241)
Dan nama ini tidaklah menunjukkan bahwa Allah membutuhkan makhluk. Apabila manusia berterima kasih kepada sesama karena perbuatan baik mereka kepadanya maka Allah tidak demikian. Allah Mahakaya dan tidak membutuhkan alam semesta.
Dari sifat yang terkandung di dalam nama asy-Syakur inilah semestinya seorang muslim selalu menanamkan harapan yang besar kepada Allah atas rahmat-Nya. Karena sekecil apapun amalan pasti Allah berikan balasan yang lebih besar. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita meremehkan kebaikan walaupun kelihatannya kecil atau remeh.
Diantara perkataan ulama yang cukup bermanfaat terkait nama asy-Syakur ini adalah : Apabila kamu tidak mendapati kelezatan di dalam hati dari ibadah yang kamu lakukan maka curigailah dirimu, karena sesungguhnya Allah itu asy-Syakur/Mahaberterima kasih.
Tidaklah diragukan bahwa ibadah akan membawa kepada ketenangan dan kebahagiaan. Akan tetapi harus diingat bahwa ibadah yang benar harus ditopang dengan keikhlasan, rasa takut, cinta dan harapan kepada Allah. Ibadah yang sesuai dengan tuntunan. Ibadah yang tegak di atas iman dan tauhid. Bukan ibadah yang dibangun di atas kemunafikan dan kekafiran.
Maka ketika ibadah tidak membuahkan ketenangan hati, kelezatan jiwa dan manisnya iman maka yang harus diperiksa adalah kondisi hati orang yang melakukannya. Karena bisa jadi terdapat kotoran syubhat ataupun syahwat yang telah merusak nurani dan ilmunya. Di sinilah pentingnya ilmu yang bermanfaat, dzikir, dan istighfar dalam menjaga kebersihan hati dari segala kotoran.
Semoga Allah beri taufik bagi kami dan pembaca untuk istiqomah dalam kebaikan.